THE BASIC PRINCIPLES OF YOGYAKARTA HISTORY

The Basic Principles Of Yogyakarta history

The Basic Principles Of Yogyakarta history

Blog Article

Benda-benda pusaka keraton juga dipercaya memiliki daya magis untuk menolak bala/kejahatan. Konon bendera KK Tunggul Wulung, sebuah bendera yang konon berasal dari kain penutup kabah di Makkah (kiswah), dipercaya dapat menghilangkan wabah penyakit yang pernah menjangkiti masyarakat Yogyakarta.

Penggunaannya juga sangat sakral dan selalu dimainkan pada upacara kenegaraan seperti upacara pemahkotaan Sultan dan pernikahan kerajaan. Gamelan nomor dua di Keraton ini juga dimainkan dalam peringatan ulang tahun Sultan, upacara sunatan putra Sultan, dan untuk megiringi prosesi Gunungan ke Masjid Besar.

Within the Special Area of Yogyakarta, a territory on Java’s southern Coastline, the simplest location to hear a chicken music just isn't during the trees, but in a very cage.

“We’re not people who exploit birds on a sizable scale. We now have a community which will help assure they don’t go extinct,” clarifies Samsul, the PR rep­resentative for the PBI chook-breeding Business.

Periodically, Exclusive ceremonies are held to scrub the sacred objects within the Royal collection. In the afternoons, after the palace is shut to website visitors, Women of all ages in regular costume can also be noticed respectfully sprinkling water and flowers over the pillars, lights incense to cleanse The Kraton from impure intention and evil spirits.

000 meter persegi. Didalamnya terdapat banyak bangunan-bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal sultan dan keluarganya serta abdi dalem kraton. Di utara terdapat alun-alun utara dan di selatan terdapat alun-alun selatan serta sekitar 10 menit dari kawasan Malioboro.

Sejumlah gunungan dalam perayaan Garebeg di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, sekitar 1930. Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya.

"From technology to era the sultan who reigns more than Yogyakarta seems to adapt himself on the shifting of instances," says Wedono Bimo Guritno quietly as he ushers me with the elaborate palace complex.

A green sq. called Alun-alun Lor or maybe the north square is set to become the entrance side of your palace, with big banyan trees guarding its Heart, named Kyai Dewandaru and Kyai Wijayandaru.

Hamengku Buwono X’s bulletins in April involved a number of obscure alterations to his personal style and titles. A single of such was the omission of the Muslim title “Khalifatullah”, a title linked to male rulers.

More than that, the kraton could be the residing focus of all that is halus (refined) and noble for the Javanese, and by extension for Indonesia in general.

Pada zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng, dan sebagainya.

Sekarang pasar ini jauh berbeda dengan aslinya. Bangunannya yang megah terdiri dari tiga lantai dan dibagi dalam dua sektor barat dan timur yang dibatasi oleh jalan kecil. Namun demikian pasar yang berada tepat di utara benteng Vredeburg ini tetap menjadi sebuah pasar tradisional yang merakyat.[57]

"Up to now it was not tricky to decide on a prince, because in past times, the sultan experienced more than one spouse," Wedono Bimo Guritno tells me. We duck beneath small gateways right into a Yogyakarta royal family maze of tree-lined courtyards bordering the Kraton Kilen, the Sultan's personal residence.

Report this page